Kelompok 7 Golongan B3
Tuesday, December 1, 2015
Monday, November 9, 2015
Metode Hazton pada Dua Tipologi Lahan dalam Peningkatan Produksi Padi
Berbagai
program peningkatan produksi padi telah dilakukan sejak 1966 seperti BIMAS,
INMAS, INSUS, SUPRAINSUS, dan P2BN. Selain itu Balitbangtan juga telah mengkaji
terap program SLPTT dan SRI.
Semua
program tersebut telah mendukung upaya peningkatan produktivitas padi nasional.
Peningkatan
produktivitas padi telah dicanangkan oleh pemerintah untuk peningkatan produksi
dengan target capaian tertentu. Program ini harus ditindaklanjuti oleh segala
pihak termasuk pemerintah daerah. Kondisi nyata yang terjadi di lapang saat
ini, peningkatan produksi seolah telah mendekati kemampuan maksimum tanaman.
Berdasarkan
keadaan tersebut, maka diperlukan manipulasi teknik budidaya padi dalam rangka
mendongkrak produksi dalam jangka panjang. Beberapa teknik budidaya padi telah
dikenal secara meluas oleh petani, antara lain teknologi PTT, SRI maupun sistem
organik.
Budidaya
padi model PTT pada prinsipnya memadukan berbagai komponen teknologi yang
saling menunjang/sinergis guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi
usahatani. Kemajuan teknologi seperti perakitan varietas baru, Pengelolaan Hara
Spesifik Lokasi (PHSL), peningkatan monitoring hama/penyakit, dan penggunaan
bahan organik yang disertai dengan penerapan beberapa komponen teknologi yang
saling menunjang, terbukti dapat meningkatkan hasil rata-rata hingga 19% pada
tahun 2002-2003 di 28 kabupaten, serta mampu meningkatkan pendapatan petani
hingga 15%.
Salah
satu metode budidaya padi yang dikembangkan oleh pemerintah daerah adalah
teknologi Hazton. Metode ini menekankan kepada penanaman bibit tua (27-30 HSS)
dan ditanam dalam jumlah 20-30 bibit/lubang. Pada tahun 2011-2012 telah
dilakukan penelitian pada skala pot dan rumah kaca, dimana perlakuan diujikan
adalah jumlah bibit per lubang tanam dan umur bibit.
Metode
dengan nama Hazton mulai dikenalkan pada tahun 2013 dan diuji secara luas
dianataranya di Desa Peniraman, Kabupaten Sambas (25 ha); Matang Segantar
Kabupaten Sambas (30 ha); Keranji, Kabupaten Pontianak (6 ha); dan Semparuk,
Kabupaten Sambas (4 ha) dengan produksi antara 8 – 10 ton/ha.
Penelitian
validasi metode Hazton dilaksanakan di kebun percobaan (KP) Muara dan KP
Sukamandi pada MT 2014-2015. KP Muara mewakili wilayah pertanaman padi pada
kisaran ketinggian 200 – 300 m DPL. dan KP Sukamandi mewakili wilayah Pantai
Utara (Pantura).
Varietas
yang digunakan adalah Inpari 31 merupakan varietas unggul Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) yang mempunyai karakteristik umur 115 HSS
mempunyai potensi hasil 8.5 t/ha dan agak tahan terhadap wereng batang coklat
(WBC).
Bahan
yang dipergunakan pada penelitian ini meliputi saprodi berupa benih padi, pupuk
organik dan organik, pestisida kimia dan biopestisida, sedangkan bahan yang
dipergunakan di laboratorium meliputi bahan kimia dan teknis sesuai dengan
penetapannya. Peralatan yang dipergunakan yakni traktor, cangkul, alat
penyemprot pestisida, dan peralatan analisa di laboratorium. Beberapa bahan
pendukung yang digunakan pada metode Hazton antara lain DECOPRIMA, BaktoPlus,
dan Bt Plus. (Biro umum dan Humas,2015)
Adinda Fajarani Putri
14/364360/PN/13602
Sumber: http://www.pertanian.go.id/ap_posts/detil/377/2015/06/16/10/55/47/Metode%20Hazton%20pada%20Dua%20Tipologi%20Lahan%20dalam%20Peningkatan%20Produksi%20Padi
Pasca Panen Sayuran
Sayuran,
seperti produk hortikultura lainnya, merupakan produk pertanian yang mudah
busuk sehingga penanganannya mulai dari saat panen harus hati-hati agar
kualitasnya dapat terjaga sampai ke tangan konsumen dan memperoleh harga jual
yang tinggi. Bila telah dipanen, tidak ada perlakuan yang dapat meningkatkan
kualitas hasil sayuran, yang dapat dilakukan adalah mempertahankan kualitas
tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di negara-negara berkembang
kehilangan hasil sayuran dapat mencapai 20-50% akibat penanganan panen dan
pasca panen yang kurang tepat.
Faktor-faktor
yang menyebabkan turunnya kualitas dan susut panen sayuran adalah: turunnya
kadar air, kerusakan mekanis, penguapan, berkembangnya mikroba dan sensitivitas
terhadap etilen. Oleh karena itu penanganan pasca panen harus memperhatikan dan
meminimalisir hal-hal yang menyebabkan penurunan kualitas dan susut panen
sayuran tersebut.
Panen
Penentuan
saat panen yang tepat merupakan langkah awal dari upaya memperoleh kualitas hasil
sayuran yang optimal. Waktu panen sayuran dapat ditentukan tidak hanya dengan
melihat keadaan fisik tanaman namun juga dengan mempertimbangkan harga dan
jarak dari kebun ke pasar yang dituju, misalnya untuk pasar yang dekat tomat
dipanen pada saat matang ditandai dengan buahnya yang berwarna merah, namun
untuk pasar yang jauh, tomat bisa dipanen ketika buahnya masak hijau.
Setiap
jenis sayuran memiliki kriteria tanaman siap panen yang spesifik, namun secara
umum menentukan sayuran siap panen dapat dilakukan dengan cara:
Visual,
yaitu dengan adanya perubahan warna, perubahan bentuk dan ukuran, daun-daun
mulai mengering dan buah sudah berkembang penuh.
Fisik,
yaitu buah mudah dilepaskan dari tangkainya, perubahan kekerasan daging buah
dan meningkatnya berat jenis buah.
Kimia,
yaitu meningkatnya kandungan gula dan menurunnya kandungan asam.
Komputasi,
yaitu menghitung jumlah hari sejak benih ditanam sampai siap panen.
Fisiologis,
yaitu dengan pengukuran pola respirasi untuk menentukan tingkat kematangan.
Panen
sayuran dapat dilakukan secara manual dengan tangan yaitu dengan cara dipetik
atau dengan bantuan alat misalnya pisau yang tajam.Di negara maju dengan lahan
yang luas, panen biasanya dilakukan dengan menggunakan mesin. Pemanenan harus
dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah kerusakan yang menyebabkan sayuran
cepat busuk. Wadah penampung hasil panen harus bersih dan tidak memiliki bagian
yang tajam/runcing yang bisa melukai produk hasil panen sayuran.
Penanganan
Pasca Panen Sayuran
Setelah
panen, sayuran memerlukan penanganan pasca panen yang bertujuan: (1)
mempertahankan mutu produk sayuran agar tetap prima sampai ke tangan konsumen,
(2) menekan kehilangan hasil karena kerusakan dan penyusutan, serta (3)
memperpanjang daya simpan dan meningkatkan nilai ekonomis sayuran. Guna
mencapai tujuan tersebut, penanganan pasca panen sayuran mengacu pada pedoman
cara penanganan pasca panen yang baik (Good Handling Practices).
Penanganan
pasca panen sayuran tergantung pada jenis sayurannya, namun pada umumnya
meliputi tahapan sebagai berikut:
1.
Pengumpulan
Hal
yang harus diperhatikan pada kegiatan ini adalah: lokasi pengumpulan harus
dekat dengan tempat pemanenan sehingga tidak terjadi penyusutan atau penurunan
kualitas akibat pengangkutan dari dan ke tempat pengumpulan. Selain itu tempat
pengumpulan juga harus terlindung dari sinar matahari agar hasil panen tidak
cepat layu karena penguapan.
2.
Sortasi
Tahapan ini memisahkan sayuran yang rusak, busuk, luka, terserang penyakit, warnanya
tidak bagus dan bentuknya tidak normal dari sayuran yang
berkualitas baik sesuai dengan kriteria yang diminta konsumen. Kegiatan ini
juga harus dilakukan di tempat teduh.
3.
Pembersihan
Tujuan
membersihkan sayuran adalah untuk menghilangkan kotoran, benda-benda asing,
sisa-sisa tanaman yang menempel pada hasil panen, getah dan lain-lain serta
supaya komoditas sayuran lebih menarik sehingga nilai jualnya lebih tinggi.
Pembersihan dapat dilakukan dengan cara mencuci menggunakan air untuk beberapa
jenis sayuran atau mengelap dengan kain yang bersih, kering dan lembut misalnya
untuk tomat.
Pada
beberapa jenis sayuran tertentu misalnya kubis bunga, dilakukan
perempelan/trimming yaitu memotong atau menghilangkan bagian tanaman tertentu
yang tidak disukai tanaman atau menyebabkan umur simpan menjadi lebih pendek.
Perempelan dilakukan untuk membuang bagian sayuran yang rusak/luka, warna yang
berubah atau cacat bentuknya agar penampilan komoditas sayuran tetap bagus.
4.
Grading atau Pengkelasan
Grading
adalah memisahkan dan menggolongkan komoditas berdasarkan tingkatan mutu seperti
: berat, ukuran, bentuk dan warna. Grading dilakukan sesuai dengan mutu yang
diminta oleh konsumen.
5.
Pengemasan
Pengemasan
sayuran harus dilakukan dengan wadah yang sesuai sehingga tujuan pengemasan
dapat tercapai, yaitu: melindungi/mencegah komoditi dari kerusakan mekanis,
menjaga kebersihan, menciptakan daya tarik bagi konsumen, memberikan nilai
tambah produk serta memperpanjang daya simpan produk. Pengemas yang umum
digunakan diantaranya: karton/box, kotak kayu, keranjang bambu, keranjang plastik,
kantong plastik dan jaring/net.
Pelabelan
diberikan pada luar kemasan. Pelabelan idealnya berisi nama komoditi dan kelas
mutunya, nama produsen, alamat produsen, tanggal produksi dan tanggal
kadaluarsa serta berat bersih.
6.
Penyimpanan
Penyimpanan
sayuran dapat memperpanjang kegunaan dan ketersediaan sayuran karena kemunduran
kesegaran dapat diperkecil. Penyimpanan sayuran dapat dilakukan di luar atau di
dalam lemari atau ruang pendingin (refrigerator/cool storage). Penyimpanan di
dalam lemari/ruang pendingin merupakan cara yang terbaik karena komoditi
sayuran memperoleh suhu dan kelembaban relatif yang optimum sehingga terjaga
kesegarannya dalam jangka waktu yang relatif lama. Penyimpanan sayuran juga
dapat dilakukan dengan pengendalian atmosfer dan pelapisan dengan lilin
(waxing).
7.
Transportasi
Karakteristik
jenis produk yang diangkut, lamanya perjalanan serta alat/sarana pengangkutan
yang digunakan merupakan hal yang harus diperhatikan pada saat transportasi
komoditi sayuran. Bila alat pengangkut tidak berpendingin udara, hendaknya
transportasi sayuran dilakukan pada saat malam atau dini hari. Selain itu
produk sayuran juga hendaknya dijaga dari kemungkinan terjadinya benturan,
gesekan dan tekanan yang terlalu berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan
atau menurunnya mutu produk tersebut. Hal ini dapat dihindari dengan pengaturan
tata letak wadah sayuran yang tepat di dalam alat transportasi.
Daftar Pustaka
Anonim. 2011. Penanganan Pasca Panen
Sayuran. http://pertanian457.blogspot.com/2011.
Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Hortikultura. 2004. Panduan Teknologi Pasca Panen dan Pengolahan Hasil
Hortikultura. Departemen Pertanian. Jakarta.
Lisa Kitinoja dan Adel A. Kader. 2003.
Penerjemah : I Made S. Utama. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana.
Denpasar.
Pantastico, ER. B. 1989. Penerjemah :
Kamariyani dan Gembong Tjitrisoepomo. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan
Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Sub Tropika. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Sumber: http://www.bbpp-lembang.info/index.php/arsip/artikel/artikel-pertanian/941-pasca-panen-sayuran
Fisabella Ayuning Putri Utami
14/364316/PN/13585
INOVASI
UNTUK SWASEMBADA BERAS
Bantuan untuk petani
berupa pupuk, alat pertanian dan bibit unggul yang sedang dipacu oleh
pemerintah tidak serta merta memudahkan pencapaian kedaulatan pangan tanpa
adanya inovasi dalam dunia pertanian. Pejabat Pemerintah Kabupaten Jombang,
Jawa Timur, beberapa ahli pertanian dan perusahaan kimia asal Jerman BASF
berkumpul dalam acara "Rice Innovation Experience Tour" di Desa
Carangrejo, Kabupaten Jombang, 17 Maret 2015 lalu. Acara itu diselenggarakan untuk
mengeksplorasi bagaimana inovasi pada teknik budi daya padi dapat berkontribusi
bagi peningkatan mutu dan kualitas beras, menjaga lingkungan dan meningkatkan
pendapatan petani. Indonesia memiliki harapan yang besar, yakni menghasilkan
beras untuk memenuhi kebutuhan pangan yang cukup bagi populasi yang meningkat,
tidak bergantung pada impor dan mencapai swasembada beras.
Lahan Indonesia tidak dapat meningkat secara signifikan tanpa memperbaharui
sumber daya alam yang ada, sehingga peningkatkan mutu dan kualitas dari area
persawahan yang ada merupakan hal yang penting. Ahli pertanian dari Universitas
Brawijaya Prof. Kuswanto mengatakan inovasi dalam teknik menanam padi berperan
untuk meningkatkan mutu dan kualitas dari area persawahan. "Sehingga inovasi
dan penerapan teknologi pertanian dan budi daya menjadi penting untuk
meningkatkan produksi tanaman," katanya.
Kuswanto mengatakan ada
tujuh teknologi peningkatkan produksi padi, yaitu intensifikasi budi daya
(SRI), sistem tanam jajar legowo, penggunaan padi hibrida, teknologi padi C4,
pemanfaatan energi matahari, memaksimalkan proses fisiologis tanaman, dan
pengelolaan hama penyakit. Pertama, teknologi intensifikasi budi daya atau
metode SRI (system of rice intensification) dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki
teknologi budi daya dan meningkatkan produktivitas lahan, sehingga produksi
tinggi. Dampak positif dari metode SRI adalah kemampuan mengurangi pengaruh
efek rumah kaca karena dilakukannya pengaturan pengairan yang kemudian mampu
mengurangi produksi gas metana (CH4) penyebab efek rumah kaca. Kedua, teknologi
jajar legowo merupakan rekayasa teknik tanam dengan mengatur jarak tanam antar
rumpun dan antar barisan. Teknologi ini cocok untuk varietas adaptif tanaman
rapat dan diklaim dapat meningkatkan hasil gabah serta populasi tanaman.
Ketiga, penggunaan padi hibrida dengan memanfaatkan kelebihan heterosis.
Menurut Kuswanto, apabila budi dayanya tepat, hasilnya dapat maksimal atau
mencapai lebih dari 10 ton per hektare. Keempat, teknologi padi C4 yang pada
saat ini masih pada taraf pengembangan. Penelitian terbaru di Taiwan telah
berhasil memasukkan gen pengontrol C4 pada padi. "Secara teori, hasil
minimal adalah 33 persen lebih tinggi dari padi C3. Dengan teknik budi daya
intensif, hasilnya bisa lebih tinggi lagi," kata Kuswanto. Kelima,
teknologi pemanfaatan energi matahari sebagai sumber utama bumi. Pemanfaatan
energi matahari dapat maksimal dapat meningkatkan hasil sampai 150 persen. Keenam,
memaksimalkan proses fisiologis tanaman. Proses fisiologis ditentukan oleh
kesehatan tanaman. Apabila proses fisiologis maksimum, maka pertumbuhan tanaman
akan maksimum pula sesuai genetiknya, tidak mudah terserang hama penyakit dan
lebih toleran terhadap kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan. Ketujuh,
teknologi pengelolaan hama penyakit yang dapat mencegah kehilangan hasil padi
dan memutus siklus hidup hama.
BASF menyelenggarakan "Rice Innovation Experience Tour" di desa Carangrejo untuk memperkenalkan produk perlindungan tanaman sekaligus menyosialisasikan inovasi dan teknologi pertanian kepada 350 petani dari berbagai wilayah di Jawa Timur. Pada tahun 2014, BASF mengeluarkan dana sebesar Rp 7,19 triliun untuk penelitian dan pengembangan di bidang pertanian. "BASF mengeluarkan dana Rp 3,4 triliun (250 juta euro) untuk biaya pengembangan dan penelitian fungisida yang mampu menghalau penyakit blas padi sehingga dapat meningkatkan panen padi," kata Kepala Bisnis Perlindungan Pangan BASF Asia Tenggara Leon van Mullekom. Penyakit blas padi adalah salah satu penyakit umum yang menyerang padi yang disebabkan oleh jamur "Magnaporthe grisea" yang menyebabkan leher tanaman padi membusuk dan patah."Inovasi dalam pestisida akan memberikan peningkatan kualitas dan kuantitas hasil panen padi," kata Leon. BASF memilih Kabupaten Jombang sebagai lokasi untuk memperkenalkan dan mempraktikkan inovasi baru itu karena Jombang merupakan salah satu kabupaten penghasil padi terbesar di Jawa Timur bersama dengan Banyuwangi, Ngawi, dan Lamongan. Sebanyak 60 persen dari total penduduk di Jombang bekerja sebagai petani dengan lahan sawah hampir separuh luas wilayah kabupaten. "Acara ini diharapkan mampu membantu Jombang mencapai target panen 436.207 ton gabah kering giling pada 2015," kata Wakil Bupati Jombang Munjidah Wahab. Pada Januari 2015, Jombang telah memanen 7.000 ton gabah kering giling. Sebelumnya pada 2014, Jombang berhasil mencapai surplus produksi padi sebanyak 145.000 ton. "Hama dan penyakit yang banyak menjadi kendala adalah tikus, wereng cokelat dan penyakit blas padi. Inovasi ini diharapkan mampu meningkatkan produktivitas petani," kata Munjidah. Munjidah mengatakan Jombang akan terus meningkatkan produksi beras untuk membantu upaya pemerintah mencapai swasembada beras. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan pihaknya akan berupaya mencapai swasembada beras dalam tiga tahun ke depan dengan memberi lebih banyak insentif pada petani. Presiden juga mengajak petani untuk meningkatkan hasil padi demi menjaga ketersediaan stok pangan. Untuk itu, pemerintah telah menyiapkan sarana dan prasarana untuk meningkatkan produksi pertanian, termasuk sistem irigasi, traktor dan mesin tanam padi. Sebagai catatan, petani Indonesia hanya mampu menghasilkan 4,7 ton gabah per hektare, sedangkan petani di Vietnam dan Tiongkok mampu menghasilkan 5,6 dan 6,5 ton gabah per hektare. Tafrozin, seorang petani asal Blitar yang hadir dalam acara "Rice Innovation Tour" berharap pemerintah benar-benar mendengarkan aspirasi petani dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan para petani. "Pemerintah seharusnya tidak hanya memberikan bantuan saja, tetapi juga turut memperhatikan hal lain seperti harga beras misalnya," katanya. Ahmad Syafi’i, seorang petani dari Desa Carangrejo, menginginkan pemerintah mampu memberikan lebih banyak perhatian dan insentif yang nyata bagi petani. "Pemerintah seharusnya tahu bahwa petani akan tetap menanam padi meskipun mengalami gagal panen sekalipun. Petani tidak boleh dibiarkan hidup dan bekerja sendiri," katanya, berharap.
BASF menyelenggarakan "Rice Innovation Experience Tour" di desa Carangrejo untuk memperkenalkan produk perlindungan tanaman sekaligus menyosialisasikan inovasi dan teknologi pertanian kepada 350 petani dari berbagai wilayah di Jawa Timur. Pada tahun 2014, BASF mengeluarkan dana sebesar Rp 7,19 triliun untuk penelitian dan pengembangan di bidang pertanian. "BASF mengeluarkan dana Rp 3,4 triliun (250 juta euro) untuk biaya pengembangan dan penelitian fungisida yang mampu menghalau penyakit blas padi sehingga dapat meningkatkan panen padi," kata Kepala Bisnis Perlindungan Pangan BASF Asia Tenggara Leon van Mullekom. Penyakit blas padi adalah salah satu penyakit umum yang menyerang padi yang disebabkan oleh jamur "Magnaporthe grisea" yang menyebabkan leher tanaman padi membusuk dan patah."Inovasi dalam pestisida akan memberikan peningkatan kualitas dan kuantitas hasil panen padi," kata Leon. BASF memilih Kabupaten Jombang sebagai lokasi untuk memperkenalkan dan mempraktikkan inovasi baru itu karena Jombang merupakan salah satu kabupaten penghasil padi terbesar di Jawa Timur bersama dengan Banyuwangi, Ngawi, dan Lamongan. Sebanyak 60 persen dari total penduduk di Jombang bekerja sebagai petani dengan lahan sawah hampir separuh luas wilayah kabupaten. "Acara ini diharapkan mampu membantu Jombang mencapai target panen 436.207 ton gabah kering giling pada 2015," kata Wakil Bupati Jombang Munjidah Wahab. Pada Januari 2015, Jombang telah memanen 7.000 ton gabah kering giling. Sebelumnya pada 2014, Jombang berhasil mencapai surplus produksi padi sebanyak 145.000 ton. "Hama dan penyakit yang banyak menjadi kendala adalah tikus, wereng cokelat dan penyakit blas padi. Inovasi ini diharapkan mampu meningkatkan produktivitas petani," kata Munjidah. Munjidah mengatakan Jombang akan terus meningkatkan produksi beras untuk membantu upaya pemerintah mencapai swasembada beras. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan pihaknya akan berupaya mencapai swasembada beras dalam tiga tahun ke depan dengan memberi lebih banyak insentif pada petani. Presiden juga mengajak petani untuk meningkatkan hasil padi demi menjaga ketersediaan stok pangan. Untuk itu, pemerintah telah menyiapkan sarana dan prasarana untuk meningkatkan produksi pertanian, termasuk sistem irigasi, traktor dan mesin tanam padi. Sebagai catatan, petani Indonesia hanya mampu menghasilkan 4,7 ton gabah per hektare, sedangkan petani di Vietnam dan Tiongkok mampu menghasilkan 5,6 dan 6,5 ton gabah per hektare. Tafrozin, seorang petani asal Blitar yang hadir dalam acara "Rice Innovation Tour" berharap pemerintah benar-benar mendengarkan aspirasi petani dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan para petani. "Pemerintah seharusnya tidak hanya memberikan bantuan saja, tetapi juga turut memperhatikan hal lain seperti harga beras misalnya," katanya. Ahmad Syafi’i, seorang petani dari Desa Carangrejo, menginginkan pemerintah mampu memberikan lebih banyak perhatian dan insentif yang nyata bagi petani. "Pemerintah seharusnya tahu bahwa petani akan tetap menanam padi meskipun mengalami gagal panen sekalipun. Petani tidak boleh dibiarkan hidup dan bekerja sendiri," katanya, berharap.
Niken Nabilaputri Pranaasri
14/364265/PN/13568
Sumber : http://sp.beritasatu.com/home/inovasi-untuk-swasembada-beras/81815
Sunday, November 8, 2015
Sistem Pertanian Organik Terpadu
Pola
integrasi antara tanaman dan ternak atau yang sering kita sebut dengan
pertanian terpadu, adalah memadukan antara kegiatan peternakan dan pertanian.
Pola ini sangatlah menunjang dalam penyediaan pupuk kandang dilahan pertanian,
sehingga pola ini sering disebut pola peternakan tanpa limbah karena limbah
peternakan digunakan untuk pupuk, dan limbah pertanian untuk makan ternak.
Integrasi hewan ternak dan tanaman dimaksudkan untuk memperoleh hasil
usaha yang optimal, dan dalam rangka memperbaiki kondisi kesuburan tanah.
Interaksi antara ternak dan tanaman haruslah saling melengkapi, mendukung
dan saling menguntungkan, sehingga dapat mendorong peningkatan efisiensi
produksi dan meningkatkan keuntungan hasil usaha taninya.
Sistem
produksi ternak sapi, misalnya yang dikombinasi dengan lahan-lahan pertanian
hendaknya dapat disesuaikan dengan jenis tanaman pangan yang diusahakan.
Hendaknya ternak yang kita pelihara tidak menggangu tanaman yang kita usahakan,
bahkan mendukung. Dalam hal ini tanaman pangan sebagai komponen utamanya
dan ternak menjadi komponen keduanya.
Konsep
pertanian terpadu ini perlu kita galakan, mengingat sistem ini di samping
menunjang pola pertanian organik yang ramah lingkungan, juga mampu meningkatkan
usaha peternakan. Komoditas sapi merupakan salah satu komoditas yang penting
yang harus terus ditingkatkan. Oleh karena itu upaya ini dapat digalakan pada
tingkat petani baik dalam rangka penggemukan ataupun dalam perbanyakan
populasi. Dengan meningkatnya populasi ternak sapi akan mampu menjamin
ketersediaan pupuk kandang di lahan pertanian. Sehingga program pertanian
organik dapat terlaksana dengan baik, kesuburan tanah dapat terjaga, dan
pertanian bisa berkelanjutan.
Sebenarnya
integrasi ternak dan tanaman ini tidak terbatas pada budidaya tanaman padi
dengan sapi saja, namun juga dapat dikembangkan integrasi dalam sistem lahan
kering dan perkebunan. Semuanya tergantung dari usaha pertanian yang
dikembangkan setempat, sehingga limbah pertaniannya dapat bervariasi seperti
misalnya limbah jerami padi dilahan sawah dan limbah jerami jagung dilahan
kering, limbah tanaman bawang merah pun dapat digunakan untuk pengembangan
ternak.
Sistem
tumpangsari tanaman dan ternak banyak juga dipraktekkan di daerah
perkebunan. Tujuan sistem ini adalah untuk pemanfaatan lahan secara
optimal. Di dalam sistem tumpangsari ini tanaman perkebunan sebagai
komponen utama dan tanaman rumput dan ternak yang merumput di atasnya merupakan
komponen kedua. Keuntungan-keuntungan dari sistem ini antara lain :
(1)
Dari tanaman perkebunannya dapat menjamin tersedianya tanaman peneduh bagi
ternak, sehingga dapat mengurangi stress karena panas.
(2)
meningkatkan kesuburan tanah melalui proses kembaliya air seni dan kotoran
padatan ke dalam tanah.
(3)
meningkatkan kualitas pakan ternak, serta membatasi pertumbuhan
gulma.
(4)
meningkatkan hasil tanaman perkebunan dan
(5)
meningkatkan keuntungan ekonomis termasuk hasil ternaknya.
Sebenarnya sistem pertanian terpadu ini tidak terbatas pada pengusahaan hewan besar saja seperti sapi dan kerbau, namun juga dapat dintegrasikan antara ternak unggas dengan tanaman pangan, hotikultura. Kotoran unggas cukup potensial dimanfaatkan sebagai pupuk.
Sebenarnya sistem pertanian terpadu ini tidak terbatas pada pengusahaan hewan besar saja seperti sapi dan kerbau, namun juga dapat dintegrasikan antara ternak unggas dengan tanaman pangan, hotikultura. Kotoran unggas cukup potensial dimanfaatkan sebagai pupuk.
Yossi
Putri I.
14/364263/PN/13567Sumber : http://www.stppmalang.ac.id/index.php?id=artikel&kode=28
Subscribe to:
Posts (Atom)