Monday, November 9, 2015

Metode Hazton pada Dua Tipologi Lahan dalam Peningkatan Produksi Padi

http://pangan.litbang.pertanian.go.id/templates/litbang/script/
Berbagai program peningkatan produksi padi telah dilakukan sejak 1966 seperti BIMAS, INMAS, INSUS, SUPRAINSUS, dan P2BN. Selain itu Balitbangtan juga telah mengkaji terap program SLPTT dan SRI.
Semua program tersebut telah mendukung upaya peningkatan produktivitas padi nasional.



Peningkatan produktivitas padi telah dicanangkan oleh pemerintah untuk peningkatan produksi dengan target capaian tertentu. Program ini harus ditindaklanjuti oleh segala pihak termasuk pemerintah daerah. Kondisi nyata yang terjadi di lapang saat ini, peningkatan produksi seolah telah mendekati kemampuan maksimum tanaman.



Berdasarkan keadaan tersebut, maka diperlukan manipulasi teknik budidaya padi dalam rangka mendongkrak produksi dalam jangka panjang. Beberapa teknik budidaya padi telah dikenal secara meluas oleh petani, antara lain teknologi PTT, SRI maupun sistem organik.



Budidaya padi model PTT pada prinsipnya memadukan berbagai komponen teknologi yang saling menunjang/sinergis guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi usahatani. Kemajuan teknologi seperti perakitan varietas baru, Pengelolaan Hara Spesifik Lokasi (PHSL), peningkatan monitoring hama/penyakit, dan penggunaan bahan organik yang disertai dengan penerapan beberapa komponen teknologi yang saling menunjang, terbukti dapat meningkatkan hasil rata-rata hingga 19% pada tahun 2002-2003 di 28 kabupaten, serta mampu meningkatkan pendapatan petani hingga 15%.



Salah satu metode budidaya padi yang dikembangkan oleh pemerintah daerah adalah teknologi Hazton. Metode ini menekankan kepada penanaman bibit tua (27-30 HSS) dan ditanam dalam jumlah 20-30 bibit/lubang. Pada tahun 2011-2012 telah dilakukan penelitian pada skala pot dan rumah kaca, dimana perlakuan diujikan adalah jumlah bibit per lubang tanam dan umur bibit.



Metode dengan nama Hazton mulai dikenalkan pada tahun 2013 dan diuji secara luas dianataranya di Desa Peniraman, Kabupaten Sambas (25 ha); Matang Segantar Kabupaten Sambas (30 ha); Keranji, Kabupaten Pontianak (6 ha); dan Semparuk, Kabupaten Sambas (4 ha) dengan produksi antara 8 – 10 ton/ha.




Penelitian validasi metode Hazton dilaksanakan di kebun percobaan (KP) Muara dan KP Sukamandi pada MT 2014-2015. KP Muara mewakili wilayah pertanaman padi pada kisaran ketinggian 200 – 300 m DPL. dan KP Sukamandi mewakili wilayah Pantai Utara (Pantura).



Varietas yang digunakan adalah Inpari 31 merupakan varietas unggul Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) yang mempunyai karakteristik umur 115 HSS mempunyai potensi hasil 8.5 t/ha dan agak tahan terhadap wereng batang coklat (WBC).

Bahan yang dipergunakan pada penelitian ini meliputi saprodi berupa benih padi, pupuk organik dan organik, pestisida kimia dan biopestisida, sedangkan bahan yang dipergunakan di laboratorium meliputi bahan kimia dan teknis sesuai dengan penetapannya. Peralatan yang dipergunakan yakni traktor, cangkul, alat penyemprot pestisida, dan peralatan analisa di laboratorium. Beberapa bahan pendukung yang digunakan pada metode Hazton antara lain DECOPRIMA, BaktoPlus, dan Bt Plus. (Biro umum dan Humas,2015)


Adinda Fajarani Putri
14/364360/PN/13602

Sumber: http://www.pertanian.go.id/ap_posts/detil/377/2015/06/16/10/55/47/Metode%20Hazton%20pada%20Dua%20Tipologi%20Lahan%20dalam%20Peningkatan%20Produksi%20Padi

Pasca Panen Sayuran

    bbppl-pascapanensayuran1
Sayuran, seperti produk hortikultura lainnya, merupakan produk pertanian yang mudah busuk sehingga penanganannya mulai dari saat panen harus hati-hati agar kualitasnya dapat terjaga sampai ke tangan konsumen dan memperoleh harga jual yang tinggi. Bila telah dipanen, tidak ada perlakuan yang dapat meningkatkan kualitas hasil sayuran, yang dapat dilakukan adalah mempertahankan kualitas tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di negara-negara berkembang kehilangan hasil sayuran dapat mencapai 20-50% akibat penanganan panen dan pasca panen yang kurang tepat.
Faktor-faktor yang menyebabkan turunnya kualitas dan susut panen sayuran adalah: turunnya kadar air, kerusakan mekanis, penguapan, berkembangnya mikroba dan sensitivitas terhadap etilen. Oleh karena itu penanganan pasca panen harus memperhatikan dan meminimalisir hal-hal yang menyebabkan penurunan kualitas dan susut panen sayuran tersebut.
Panen
Penentuan saat panen yang tepat merupakan langkah awal dari upaya memperoleh kualitas hasil sayuran yang optimal. Waktu panen sayuran dapat ditentukan tidak hanya dengan melihat keadaan fisik tanaman namun juga dengan mempertimbangkan harga dan jarak dari kebun ke pasar yang dituju, misalnya untuk pasar yang dekat tomat dipanen pada saat matang ditandai dengan buahnya yang berwarna merah, namun untuk pasar yang jauh, tomat bisa dipanen ketika buahnya masak hijau.
Setiap jenis sayuran memiliki kriteria tanaman siap panen yang spesifik, namun secara umum menentukan sayuran siap panen dapat dilakukan dengan cara:
Visual, yaitu dengan adanya perubahan warna, perubahan bentuk dan ukuran, daun-daun mulai mengering dan buah sudah berkembang penuh.
Fisik, yaitu buah mudah dilepaskan dari tangkainya, perubahan kekerasan daging buah dan meningkatnya berat jenis buah.
Kimia, yaitu meningkatnya kandungan gula dan menurunnya kandungan asam.
Komputasi, yaitu menghitung jumlah hari sejak benih ditanam sampai siap panen.
Fisiologis, yaitu dengan pengukuran pola respirasi untuk menentukan tingkat kematangan.
Panen sayuran dapat dilakukan secara manual dengan tangan yaitu dengan cara dipetik atau dengan bantuan alat misalnya pisau yang tajam.Di negara maju dengan lahan yang luas, panen biasanya dilakukan dengan menggunakan mesin. Pemanenan harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah kerusakan yang menyebabkan sayuran cepat busuk. Wadah penampung hasil panen harus bersih dan tidak memiliki bagian yang tajam/runcing yang bisa melukai produk hasil panen sayuran.
 bbppl-pascapanensayuran2
Penanganan Pasca Panen Sayuran
Setelah panen, sayuran memerlukan penanganan pasca panen yang bertujuan: (1) mempertahankan mutu produk sayuran agar tetap prima sampai ke tangan konsumen, (2) menekan kehilangan hasil karena kerusakan dan penyusutan, serta (3) memperpanjang daya simpan dan meningkatkan nilai ekonomis sayuran. Guna mencapai tujuan tersebut, penanganan pasca panen sayuran mengacu pada pedoman cara penanganan pasca panen yang baik (Good Handling Practices).
Penanganan pasca panen sayuran tergantung pada jenis sayurannya, namun pada umumnya meliputi tahapan sebagai berikut:
1.       Pengumpulan
Hal yang harus diperhatikan pada kegiatan ini adalah: lokasi pengumpulan harus dekat dengan tempat pemanenan sehingga tidak terjadi penyusutan atau penurunan kualitas akibat pengangkutan dari dan ke tempat pengumpulan. Selain itu tempat pengumpulan juga harus terlindung dari sinar matahari agar hasil panen tidak cepat layu karena penguapan.
2.       Sortasi
       Tahapan ini memisahkan sayuran yang rusak, busuk, luka, terserang penyakit, warnanya tidak bagus dan bentuknya tidak normal    dari sayuran yang berkualitas baik sesuai dengan kriteria yang diminta konsumen. Kegiatan ini juga harus dilakukan di tempat teduh.
3.       Pembersihan
Tujuan membersihkan sayuran adalah untuk menghilangkan kotoran, benda-benda asing, sisa-sisa tanaman yang menempel pada hasil panen, getah dan lain-lain serta supaya komoditas sayuran lebih menarik sehingga nilai jualnya lebih tinggi. Pembersihan dapat dilakukan dengan cara mencuci menggunakan air untuk beberapa jenis sayuran atau mengelap dengan kain yang bersih, kering dan lembut misalnya untuk tomat.
Pada beberapa jenis sayuran tertentu misalnya kubis bunga, dilakukan perempelan/trimming yaitu memotong atau menghilangkan bagian tanaman tertentu yang tidak disukai tanaman atau menyebabkan umur simpan menjadi lebih pendek. Perempelan dilakukan untuk membuang bagian sayuran yang rusak/luka, warna yang berubah atau cacat bentuknya agar penampilan komoditas sayuran tetap bagus.
bbppl-pascapanensayuran3
4.       Grading atau Pengkelasan
Grading adalah memisahkan dan menggolongkan komoditas berdasarkan tingkatan mutu seperti : berat, ukuran, bentuk dan warna. Grading dilakukan sesuai dengan mutu yang diminta oleh konsumen.
5.       Pengemasan
Pengemasan sayuran harus dilakukan dengan wadah yang sesuai sehingga tujuan pengemasan dapat tercapai, yaitu: melindungi/mencegah komoditi dari kerusakan mekanis, menjaga kebersihan, menciptakan daya tarik bagi konsumen, memberikan nilai tambah produk serta memperpanjang daya simpan produk. Pengemas yang umum digunakan diantaranya: karton/box, kotak kayu, keranjang bambu, keranjang plastik, kantong plastik dan jaring/net.
Pelabelan diberikan pada luar kemasan. Pelabelan idealnya berisi nama komoditi dan kelas mutunya, nama produsen, alamat produsen, tanggal produksi dan tanggal kadaluarsa serta berat bersih.
6.       Penyimpanan
Penyimpanan sayuran dapat memperpanjang kegunaan dan ketersediaan sayuran karena kemunduran kesegaran dapat diperkecil. Penyimpanan sayuran dapat dilakukan di luar atau di dalam lemari atau ruang pendingin (refrigerator/cool storage). Penyimpanan di dalam lemari/ruang pendingin merupakan cara yang terbaik karena komoditi sayuran memperoleh suhu dan kelembaban relatif yang optimum sehingga terjaga kesegarannya dalam jangka waktu yang relatif lama. Penyimpanan sayuran juga dapat dilakukan dengan pengendalian atmosfer dan pelapisan dengan lilin (waxing).
7.       Transportasi
Karakteristik jenis produk yang diangkut, lamanya perjalanan serta alat/sarana pengangkutan yang digunakan merupakan hal yang harus diperhatikan pada saat transportasi komoditi sayuran. Bila alat pengangkut tidak berpendingin udara, hendaknya transportasi sayuran dilakukan pada saat malam atau dini hari. Selain itu produk sayuran juga hendaknya dijaga dari kemungkinan terjadinya benturan, gesekan dan tekanan yang terlalu berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan atau menurunnya mutu produk tersebut. Hal ini dapat dihindari dengan pengaturan tata letak wadah sayuran yang tepat di dalam alat transportasi.


Daftar Pustaka
Anonim. 2011. Penanganan Pasca Panen Sayuran. http://pertanian457.blogspot.com/2011.
Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura. 2004. Panduan Teknologi Pasca Panen dan Pengolahan Hasil Hortikultura. Departemen Pertanian. Jakarta.
Lisa Kitinoja dan Adel A. Kader. 2003. Penerjemah : I Made S. Utama. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana. Denpasar.
Pantastico, ER. B. 1989. Penerjemah : Kamariyani dan Gembong Tjitrisoepomo. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Sub Tropika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sumber: http://www.bbpp-lembang.info/index.php/arsip/artikel/artikel-pertanian/941-pasca-panen-sayuran

Fisabella Ayuning Putri Utami
14/364316/PN/13585
INOVASI UNTUK SWASEMBADA BERAS


Bantuan untuk petani berupa pupuk, alat pertanian dan bibit unggul yang sedang dipacu oleh pemerintah tidak serta merta memudahkan pencapaian kedaulatan pangan tanpa adanya inovasi dalam dunia pertanian. Pejabat Pemerintah Kabupaten Jombang, Jawa Timur, beberapa ahli pertanian dan perusahaan kimia asal Jerman BASF berkumpul dalam acara "Rice Innovation Experience Tour" di Desa Carangrejo, Kabupaten Jombang, 17 Maret 2015 lalu. Acara itu diselenggarakan untuk mengeksplorasi bagaimana inovasi pada teknik budi daya padi dapat berkontribusi bagi peningkatan mutu dan kualitas beras, menjaga lingkungan dan meningkatkan pendapatan petani. Indonesia memiliki harapan yang besar, yakni menghasilkan beras untuk memenuhi kebutuhan pangan yang cukup bagi populasi yang meningkat, tidak bergantung pada impor dan mencapai swasembada beras.
Lahan Indonesia tidak dapat meningkat secara signifikan tanpa memperbaharui sumber daya alam yang ada, sehingga peningkatkan mutu dan kualitas dari area persawahan yang ada merupakan hal yang penting. Ahli pertanian dari Universitas Brawijaya Prof. Kuswanto mengatakan inovasi dalam teknik menanam padi berperan untuk meningkatkan mutu dan kualitas dari area persawahan. "Sehingga inovasi dan penerapan teknologi pertanian dan budi daya menjadi penting untuk meningkatkan produksi tanaman," katanya.
Kuswanto mengatakan ada tujuh teknologi peningkatkan produksi padi, yaitu intensifikasi budi daya (SRI), sistem tanam jajar legowo, penggunaan padi hibrida, teknologi padi C4, pemanfaatan energi matahari, memaksimalkan proses fisiologis tanaman, dan pengelolaan hama penyakit. Pertama, teknologi intensifikasi budi daya atau metode SRI (system of rice intensification) dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki teknologi budi daya dan meningkatkan produktivitas lahan, sehingga produksi tinggi. Dampak positif dari metode SRI adalah kemampuan mengurangi pengaruh efek rumah kaca karena dilakukannya pengaturan pengairan yang kemudian mampu mengurangi produksi gas metana (CH4) penyebab efek rumah kaca. Kedua, teknologi jajar legowo merupakan rekayasa teknik tanam dengan mengatur jarak tanam antar rumpun dan antar barisan. Teknologi ini cocok untuk varietas adaptif tanaman rapat dan diklaim dapat meningkatkan hasil gabah serta populasi tanaman.
Ketiga, penggunaan padi hibrida dengan memanfaatkan kelebihan heterosis. Menurut Kuswanto, apabila budi dayanya tepat, hasilnya dapat maksimal atau mencapai lebih dari 10 ton per hektare. Keempat, teknologi padi C4 yang pada saat ini masih pada taraf pengembangan. Penelitian terbaru di Taiwan telah berhasil memasukkan gen pengontrol C4 pada padi. "Secara teori, hasil minimal adalah 33 persen lebih tinggi dari padi C3. Dengan teknik budi daya intensif, hasilnya bisa lebih tinggi lagi," kata Kuswanto. Kelima, teknologi pemanfaatan energi matahari sebagai sumber utama bumi. Pemanfaatan energi matahari dapat maksimal dapat meningkatkan hasil sampai 150 persen. Keenam, memaksimalkan proses fisiologis tanaman. Proses fisiologis ditentukan oleh kesehatan tanaman. Apabila proses fisiologis maksimum, maka pertumbuhan tanaman akan maksimum pula sesuai genetiknya, tidak mudah terserang hama penyakit dan lebih toleran terhadap kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan. Ketujuh, teknologi pengelolaan hama penyakit yang dapat mencegah kehilangan hasil padi dan memutus siklus hidup hama.

BASF menyelenggarakan "Rice Innovation Experience Tour" di desa Carangrejo untuk memperkenalkan produk perlindungan tanaman sekaligus menyosialisasikan inovasi dan teknologi pertanian kepada 350 petani dari berbagai wilayah di Jawa Timur. Pada tahun 2014, BASF mengeluarkan dana sebesar Rp 7,19 triliun untuk penelitian dan pengembangan di bidang pertanian. "BASF mengeluarkan dana Rp 3,4 triliun (250 juta euro) untuk biaya pengembangan dan penelitian fungisida yang mampu menghalau penyakit blas padi sehingga dapat meningkatkan panen padi," kata Kepala Bisnis Perlindungan Pangan BASF Asia Tenggara Leon van Mullekom. Penyakit blas padi adalah salah satu penyakit umum yang menyerang padi yang disebabkan oleh jamur "Magnaporthe grisea" yang menyebabkan leher tanaman padi membusuk dan patah."Inovasi dalam pestisida akan memberikan peningkatan kualitas dan kuantitas hasil panen padi," kata Leon. BASF memilih Kabupaten Jombang sebagai lokasi untuk memperkenalkan dan mempraktikkan inovasi baru itu karena Jombang merupakan salah satu kabupaten penghasil padi terbesar di Jawa Timur bersama dengan Banyuwangi, Ngawi, dan Lamongan. Sebanyak 60 persen dari total penduduk di Jombang bekerja sebagai petani dengan lahan sawah hampir separuh luas wilayah kabupaten. "Acara ini diharapkan mampu membantu Jombang mencapai target panen 436.207 ton gabah kering giling pada 2015," kata Wakil Bupati Jombang Munjidah Wahab. Pada Januari 2015, Jombang telah memanen 7.000 ton gabah kering giling. Sebelumnya pada 2014, Jombang berhasil mencapai surplus produksi padi sebanyak 145.000 ton. "Hama dan penyakit yang banyak menjadi kendala adalah tikus, wereng cokelat dan penyakit blas padi. Inovasi ini diharapkan mampu meningkatkan produktivitas petani," kata Munjidah. Munjidah mengatakan Jombang akan terus meningkatkan produksi beras untuk membantu upaya pemerintah mencapai swasembada beras. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan pihaknya akan berupaya mencapai swasembada beras dalam tiga tahun ke depan dengan memberi lebih banyak insentif pada petani. Presiden juga mengajak petani untuk meningkatkan hasil padi demi menjaga ketersediaan stok pangan. Untuk itu, pemerintah telah menyiapkan sarana dan prasarana untuk meningkatkan produksi pertanian, termasuk sistem irigasi, traktor dan mesin tanam padi. Sebagai catatan, petani Indonesia hanya mampu menghasilkan 4,7 ton gabah per hektare, sedangkan petani di Vietnam dan Tiongkok mampu menghasilkan 5,6 dan 6,5 ton gabah per hektare. Tafrozin, seorang petani asal Blitar yang hadir dalam acara "Rice Innovation Tour" berharap pemerintah benar-benar mendengarkan aspirasi petani dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan para petani. "Pemerintah seharusnya tidak hanya memberikan bantuan saja, tetapi juga turut memperhatikan hal lain seperti harga beras misalnya," katanya. Ahmad Syafi’i, seorang petani dari Desa Carangrejo, menginginkan pemerintah mampu memberikan lebih banyak perhatian dan insentif yang nyata bagi petani. "Pemerintah seharusnya tahu bahwa petani akan tetap menanam padi meskipun mengalami gagal panen sekalipun. Petani tidak boleh dibiarkan hidup dan bekerja sendiri," katanya, berharap.

Niken Nabilaputri Pranaasri
14/364265/PN/13568
Sumber : http://sp.beritasatu.com/home/inovasi-untuk-swasembada-beras/81815

Sunday, November 8, 2015

Sistem Pertanian Organik Terpadu




Pola integrasi antara tanaman dan ternak atau yang sering kita sebut dengan pertanian terpadu, adalah memadukan antara kegiatan peternakan dan pertanian. Pola ini sangatlah menunjang dalam penyediaan pupuk kandang dilahan pertanian, sehingga pola ini sering disebut pola peternakan tanpa limbah karena limbah peternakan digunakan untuk pupuk, dan limbah pertanian untuk makan ternak. Integrasi hewan ternak dan tanaman dimaksudkan untuk memperoleh  hasil usaha yang optimal, dan dalam rangka memperbaiki kondisi kesuburan tanah. Interaksi antara ternak dan tanaman haruslah  saling melengkapi, mendukung dan saling menguntungkan, sehingga dapat mendorong peningkatan efisiensi produksi  dan meningkatkan keuntungan hasil usaha taninya.
Sistem produksi ternak sapi, misalnya yang dikombinasi dengan lahan-lahan pertanian hendaknya dapat disesuaikan dengan jenis tanaman pangan yang diusahakan. Hendaknya ternak yang kita pelihara tidak menggangu tanaman yang kita usahakan, bahkan mendukung.  Dalam hal ini tanaman pangan sebagai komponen utamanya dan ternak menjadi komponen keduanya.
Konsep pertanian terpadu ini perlu kita galakan, mengingat sistem ini di samping menunjang pola pertanian organik yang ramah lingkungan, juga mampu meningkatkan usaha peternakan. Komoditas sapi merupakan salah satu komoditas yang penting yang harus terus ditingkatkan. Oleh karena itu upaya ini dapat digalakan pada tingkat petani baik dalam rangka penggemukan ataupun dalam perbanyakan populasi. Dengan meningkatnya populasi ternak sapi akan mampu menjamin ketersediaan pupuk kandang di lahan pertanian. Sehingga program pertanian organik dapat terlaksana dengan baik, kesuburan tanah dapat terjaga, dan pertanian bisa berkelanjutan.
Sebenarnya integrasi ternak dan tanaman ini tidak terbatas pada budidaya tanaman padi dengan sapi saja, namun juga dapat dikembangkan integrasi dalam sistem lahan kering dan perkebunan. Semuanya tergantung dari usaha pertanian yang dikembangkan setempat, sehingga limbah pertaniannya dapat bervariasi seperti misalnya limbah jerami padi dilahan sawah dan limbah jerami jagung dilahan kering, limbah tanaman bawang merah pun dapat digunakan untuk pengembangan ternak.
Sistem tumpangsari tanaman dan ternak banyak juga dipraktekkan di daerah  perkebunan.  Tujuan sistem ini adalah untuk pemanfaatan lahan secara optimal.  Di dalam sistem tumpangsari ini tanaman perkebunan sebagai komponen utama dan tanaman rumput dan ternak yang merumput di atasnya merupakan komponen kedua.  Keuntungan-keuntungan dari sistem ini antara lain :

(1) Dari tanaman perkebunannya dapat menjamin tersedianya tanaman peneduh bagi ternak, sehingga dapat mengurangi stress karena panas.
(2) meningkatkan kesuburan tanah melalui proses kembaliya air seni dan kotoran padatan ke dalam tanah.
(3) meningkatkan kualitas pakan   ternak, serta membatasi pertumbuhan gulma.
(4) meningkatkan hasil tanaman perkebunan dan
(5) meningkatkan keuntungan ekonomis termasuk hasil ternaknya. 
Sebenarnya sistem pertanian terpadu ini tidak terbatas pada pengusahaan hewan besar saja seperti sapi dan kerbau, namun juga dapat dintegrasikan antara ternak unggas dengan tanaman pangan, hotikultura. Kotoran unggas cukup potensial dimanfaatkan sebagai pupuk. 



Yossi Putri I.
14/364263/PN/13567
Sumber : http://www.stppmalang.ac.id/index.php?id=artikel&kode=28